Pages

Thursday, July 22, 2010

Tak Ada Yang Abadi…

Puji syukur aku panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, hidayah, serta inayahnya kepadaku sehingga aku masih diberi kehidupan, kesehatan, serta keberkahan hingga saat ini. Semoga hidupku akan selalu dijalan-Nya, selalu dalam naungan dan perlindungan-Nya, serta dihindarkan dari tipu daya dunia yang fana, sekiranya ia hanyalah sebagai batu loncatan, bukan tempat tinggal abadi dan kesenangan semata. Melalui coretan pena ini, aku persembahkan sebagian kecil kisah suka dukaku selama menuntut ilmu setahun terakhir di kelas XI IPA 3 ini.
Waktu berlalu begitu cepat, sudah hampir duabelas kali aku menggganti tanggalan kalenderku selama aku berada di kelas XI. Itu berarti, sudah hampir satu tahun aku belajar di kelas XI IPA 3. Sebuah kelas yang menurutku cukup kompak, proaktif dan ramah-tamah. Tak pernah aku bayangkan mengapa sang pengukur waktu terasa begitu cepat berotasi pada sumbunya. Dan mengapa si Bayi Teletubies begitu aktif bangun dan tidur dengan begitu kilatnya sehingga memaksa Aku dan teman-teman seperjuangan lain harus menghadapi evaluasi terakhir di kelas XI karena kemunculannya di ufuk timur tiap pagi telah nyaris mencapai 360 kali.
Langkahku di Blackcurrant, begitu julukan kelasku, dimulai ketika aku menerima rapor yang menunjukkan kepadaku bahwa aku harus melanjutkan di kelas XI IPA. Puncaknya, aku menerima SK di papan mading yang memutuskan aku untuk menjadi punggawa XI IPA 3 dalam kurun waktu satu tahun ke depan. Masa adaptasi aku jalani dengan muka masam dan tangan terbuka. Maksudnya, kubuka tanganku lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin berteman denganku, dalam rangka menunjukkan bukti kepedulianku kepada lingkungan sosialku….
Detik berganti menit, menit berganti jam, begitu seterusnya hingga anak ayam tetanggaku pun sudah berganti menjadi ayam jago yang gagah dan perkasa. Beberapa bulan sudah berlalu, Aku pun sudah mulai akrab dan mengerti kepribadian teman-teman sekelasku. Ada yang baik hati, suka menolong, suka menabung, suka olahraga, suka baca pusi, suka mencontek, hingga suka dengan temannya sendiri. Yang demikian kurasa sesuatu yang wajar dan normal, mengingat mereka memang sedang dalam proses pendewasaan secara fisik dan psikis. Mungkin dalam konteks kali ini, aku tidak akan bicara panjang lebar masalah “suka-sukaan” dengan insan lain, mengingat ukuran ketasnya yang tidak selebar daun kelor. Tak hanya di lingkungan sekolah, kehidupanku di tempat kos juga berjalan dengan indah. Detik demi detik aku lalui dengan penuh arti persahabatan dan rasa solidaritas. Mereka semua bagaikan nyawa kedua dalam tubuhku, dan yang selalu mengingatkanku akan suka-duka hidup jauh dari orang tua.
Di penghujung tahun 2008 hingga awal 2009, Aku mengalami dua masa revolusi dalam diriku, bukan Revolusi Perancis ataupun Revolusi industri di Inggris seperti yang sebagian orang pikirkan. Bukan juga revolusi Agumon atau Gabumon dalam film Digimon Adventure. Revolusi yang kumaksud adalah suatu perubahan dalam tingkatan proses edukasiku. Yang pertama adalah edukasi dalam lingkungan sekolah dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan secara teoritis. Aku berhasil mendapatkan hasil belajar yang memuaskan dan cukup membanggakan, pastinya ini menjadi motivasi tersendiri dalam kelanjutan belajarku. Yang kedua adalah revolusi dalam kegiatan pelatihan dan peningkatan kesehatan secara fisik. Setelah satu setengah tahun mengabdi pada perguruan pencak silat Bhayu Manunggal, akhirnya aku berhasil lulus ujian kepelatihan di Jogjakarta, pusat POPSI Bhayu Manunggal seluruh nusantara.
Suara adhan subuh membangunkan tidurku, tak kusangka subuh itu menjadi awal langkahku dalam mengarungi lautan badai di semester dua, menjadi motor ditabuhnya genderang perang menghadapi badai “soal” di semester genap. Terkadang aku berpikir, sungguh Allah telah memberikan Anugerah yang mungkin jauh diatas usahaku selama ini. Allah telah memberikanku sepercik kesadaran dan petunjuk bagi hamba-Nya, melalui lubang pori-pori dosaku selama ini. Aku menjadi teringat bahwa ibadahku selama ini mungkin jauh dari merk rokok terkenal produk dalam negeri “Sampoerna”. Oleh karena itu, aku bertekad di semester dua untuk merenovasi tembok keimananku dan menambal kebocoran benteng keislamanku.
Di semester genap, perjalananku dalam mengais ilmu memperlihatkan grafik penurunan. Jjika dipandang dari kacamata Fisika, maka grafiknya Bagaikan ilustrasi sebutir kelereng yang digelindingkan melalui bidang miring yang disanggga pada sebuah penyangga. Atau bagaikan kurva pembelian dan penawaran dalam ilmu Ekonomi. Hubungan persahabatanku dengan teman-teman IPA 3 cenderung harmonis. Tak ada konflik batin, sosial apalagi konflik fisik diantara kami, segala sesuatunya diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, termasuk saat acara pentas drama akbar Blackcurrant.
Di semester dua, banyak momen-momen penting yang patut untuk dikenang. Suatu peristiwa yang mungkin sulit terlupakan dalam benakku adalah tersinggkirnya tim voli Blackcurrant dalam semifinal liga voli Smansa. Rasa solidaritas anak-anak IPA 3 semakin kokoh setelah terjadi event-event yang diharuskan untuk mengutamakan kebersamaan seperti pentas drama dan tour ke Bali.
Prit…prit…prit.. Liga Blackcurrant telah bergulir. Para atlet dengan gagah berani menargetkan gelar juara di akhir musim kompetisi. Dimaster, Donopon, Tombol, Oyima, Anke, dan Yanti. Itulah atlet-atlet Liga Blackcurrant. Salah satu pertandingan akbar adalah antara Dimaster ( Dimas dan Iwan ) Vs Tombol (Tomo dan Bole ), untuk memperebutkan juara Cup. Di saat-saat terakhir, Tombol tak kuasa menerima smash dari tim Dimaster, bola terpental jauh. Penonton bersorak antusias. Semua mata tertuju pada arah bola. Tiba-tiba pyarrrrr…, bola menghancurkan dan meremukkan gelas kimia di area penonton. Air menghambur keluar. Banjir bandang terjadi. Lalu aku berpikir, apakah kiamat akan datang? Tiba-tiba aku terbangun dari lamunanku, ternyata air yang tumpah hanya satu gelas, tenanglah hatiku….
Begitulah sekelumit kisahku di Blackcurrant. Waktu adalah kehidupan manusia. Jika digunakan untuk membaca akan menjadi sumber kebijaksanaan. Jika digunakan untuk berfikir akan menjadi kekuatan. Jika digunakan untuk berdoa akan menjadi keberkahan dan rahmat. Jika digunakan untuk bekerja akan menjadi keberhasilan. Jika digunakan untuk beramal akan menghantarkan menuju syurga. Semua itu adalah kewajiban seorang hamba terhadap Tuhannya. Gunakanlah waktu untuk kehidupan yang sebenarnya. Sesungguhnya kewajiban-kewajiban hamba didunia lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Oleh karena itu, aku akan berusaha lebih menghargai waktu hidupku.
Terimakasih aku persembahkan kepada Ibu Tuti yang telah memberikan banyak pengalaman dan ilmunya sehingga kami dapat menjadi manusia yang lebih berguna di masa yang akan datang. Terimakasih juga kepada teman-teman yang telah mengisi sebagian memori di hatiku. Kalian tak akan pernah aku lupakan…
Maafkanlah sahabatmu ini jikalau sepercik coretan tintanya kurang berkenan di hati. Maafkan pula jika tak ada rangkaian kata-kata spesial dan bernuansa puitis di dalam ceritaku ini, karena sebenarnya aku bukanlah pujangga yang pandai merangkai kata. Aku hanyalah seperempatpuluh bagian dari kelas Blackcurrant dengan nomor induk 14141, suatu nomor induk yang biasa, standard, agak bagus dan layak dipuji. Oleh karena itu, mohon dimaklumi dengan sepenuh hati dan dengan rasa ikhlas yang datang dari lubuk hati yang paling dalam. Ambilah setiap pelajaran positif dari setiap apa yang kita dengar dan rasakan, supaya kita memperoleh pengalaman hidup yang lebih berharga. AMIN…

Sekian, Setiawan Romadhan….

Anggaran Pendidikan 20%, Benarkah…?

‘Jika anda ingin memetik hasil tiga bulan ke depan, tanamlah jagung, jika anda ingin memetik hasil satu tahun ke depan, tanamlah singkong, jika anda ingin memetik hasil 100 tahun ke depan, didiklah anak anak manusia dengan baik.” Kira kira begitulah potongan kalimat asal China yang kini menghiasi halaman muka dari buku-buku ataupun situs yang bertemakan pendidikan. Pendidikan memang merupakan sektor yang sangat vital di setiap negara di berbagai belahan bumi. Di Indonesia, begitu pentingnya pendidikan, maka UUD 1945 pasal 31 ayat 4 juga dengan tegas menyatakan pemprioritasan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Tak kalah pentingnya, pidato Presiden RI tahun 2008 di hadapan sidang paripurna RI, juga turut serta menyatakan bahwa pemerintah akan memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam RAPBN tahun 2009.
Keputusan pemerintah tersebut secara teori memang akan meningkatkan anggaran pendidikan dalam jumlah yang fantastis. Bagaimana tidak, jika total belanja tahun 2009, yaitu Rp 1.122,2 T, sekitar 224,4 T akan dialokasikan untuk pendidikan. Berdasarkan UU, alokasi tersebut merupakan alokasi anggaran Depdiknas,Depag, DAU pendidikan di APBD serta DAK pendidikan, dana bagi hasil (DBH), serta dana otonomi khusus pendidikan. Jika mengacu pada pidato presiden, dana tersebut menyangkut juga tentang pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah serta untuk perbaikan kesejahteraaan dan kualitas kompetensi dari guru.
Apakah dengan adanya pidato presiden tersebut, dan didukung oleh berbagai macam UU tentang pendidikan, maka anggaran pendidikan akan naik menjadi 20 persen? Saya kira tidak ada jaminan, meski masyarakat Indonesia memberi dan menaruh ekspektasi yang besar mengenai problem ini. Mengapa demikian? Sebab keinginan pemerintah untuk menaikkan anggaran hingga 20 persen sudah cukup lama, tetapi keinginan tersebut hingga saat ini belum terealisasikan dengan baik, mengingat keterbatasan kemampuan riil ekonomi Indonesia yang sedang terserang penyakit resesi, krisis, korupsi, menurunnya nilai rupiah, dan berbagai “skandal” keuangan lainnya. Oleh karena itu, tidak mustahil bahwa keinginan menaikkan anggaran pendidikan tetap tidak tercapai, atau dengan kata lain masih jauh untuk dapat terealisasikan.
Menurut perhitungan secara matematis, dengan alokasi dana yang semakin besar, logikanya peningkatan sarana dan prasarana serta peningkatan kualitas pendidikan yang berdampak pada peningkatan SDM bangsa pada masa mendatang akan tercapai. Tetapi sebagaiman pernyataan diatas, dengan anggaran keuangan yang secara nyata sangat terbatas, ditambah dengan anggaran dana yang banyak “dimainkan” oleh lembaga ataupun pihak yang sama sekali tidak terkait dengan anggaran ini. Diakui atau tidak, kesempatan untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan yang rusak di berbagai wilayah akan semakin terhambat.
Problem lain dari kasus ini adalah bahwa anggaran pendidikan cenderung hanya menjadi komoditas politik semata. Pernyataan dalam beberapa situs-situs internet serta beberapa surat kabar, bahwa selama ini terkesan bahwa anggaran pendidikan yang 20 persen dari APBN, menjadi retorika politik guna meningkatkan citra dan alat posisi tawar antar elit-elit politik ketimbang direalisasikan dengan tujuan membangun pendidikan yang bermutu memang ada benarnya.
Entah disengaja atau memang kebetulan, instruksi presiden mengenai peningkatan anggaran sebesar 20 persen bagi dunia pendidikan, itu baru dapat dilaksanakan pada tahun 2009. tahun terakhir bagi Presiden SBY menjabat sebagai kepala Negara. Walaupun dapat kita anggap sebagai “kebetulan” semata, hal hal yang seperti inilah yang dapat menimbulkan kesan negatif serta menyulut dan mendorong timbulnya beragam pertanyaan bagi masyarakat awam.
Mengacu pada beberapa pernyataan diatas, mari kita pantau bersama apakah keputusan “spektakuler” yang juga mengacu pada keputusan MK itu nantinya dapat terpenuhi. Sebab bagaimanapun juga pendidikan yang baik harus tetap menjadi prioritas nomor wahid sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945. Andaikan permasalahan yang ada tetap belum terselesaikan, pemenuhan anggaran sebanyak 20 persen tersebut dapat dikatakan belum membawa manfaat. Oleh karena itu, saya kira pemerintah jangan terlalu bangga terlebih dahulu karena telah merealisasikan anggaran pendidikan 20 persen. Perlu dilihat, apakah dengan anggaran tersebut permasalahan pendidikan dapat terselesaikan…?